Sabtu, 28 Desember 2013

Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok

Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah              : Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu      : Dian Rif’iyati, M.S.I

Disusun Oleh :
Kelompok 4

1.      Elly Anisah                                 2021111035
2.      Dewi Nurlita Kurniawati           2021111036
3.      Annisa Amalia Zikrina              2021111050
4.      Fatkhul Ribkhah                       2021111059

Kelas H

PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013



BAB II
PEMABAHASAN 
A.    Pengertian Pendidikan
Pendidikan dapat diartikan secara sederhana sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
Pada pendidikan yang sesungguhnya  anak dituntut mengerti bahwa ia harus memahami apa yang dikehendaki oleh pemegang kewibawaan dan menyadari bahwa hal yang diajarkan adalah perlu baginya. Dapat dikatakan bahwa ciri utamanya adalah adanya kesiapan interaksi edukatif dari pendidik dan peserta didik.[1] Beberapa pendapat para ahli tentang pendidikan yaitu:
Menurut Langeveld, pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan anak kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Menurut John Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak yang kita didik sesuai dengan dunianya dan dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[2]
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keterampilan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[3]
Dari beberapa defenisi pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang terencana dan tersistematis dalam memanusiakan manusia.

B.     Pengertian Kelompok
Secara sosiologis, istilah kelompok mempunyai pengertian sebagai suatu kumpulan dari orang-orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, dimana dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama. Beberapa definisi kelompok:
Menurut Joseph S. Roucek., suatu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang diantara mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.
Menururt Mayor Polak, kelompok sosial adalah satu group, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.
Menurut Wila Huky, kelompok merupakan suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi atau saling berkomunikasi.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok menurut tinjauan sosiologi adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan terjadi hubungan timbal balik dimana ia merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut.[4]


C.    Kelompok-Kelompok Sosial dalam Masyarakat
Kelompok sosial dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk. Hal ini sangat bergantung dari sudut pandang ahli yang bersangkutan. Ada yang memandang dari proses terbentuknya, kekuatan ikatan emosional dan ada yang membaginya berdasarkan banyaknya jumlah anggota kelompok.
1.      William G.Summer mengemukakan adanya in group atau we group dan out group atau others group atau every body else. Di dalam in group ada asosialisasi ke arah mana tiap-tiap individu anggota kelompok kesetiaan dan solidaritas serta terdapat usaha identifikasi pribadi satu sama lain ke arah adanya rasa persahabatan, kerjasama, rasa tanggung jawab, terutama disaat mendesak dan gawat.
2.      Cooley mempergunakan dasar “we and the group” dari Summer yang mengemukakan adanya jenis-jenis kelompok sosial-sosial primair, sekundair dan tertier atas dasar intimitas perasaan individu-individu terhadap individu-individu atau kelompok lainnya.
3.      John L. Gillin membagi kelompok atas dasar fungsional, yaitu:
a.       Kelompok persamaan darah
b.      Kelompok berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental
c.       Kelompok proximitas
d.      Kelompok berdasarkan interest kulturil
e.       Alvedes yang menyelidiki pada kelompok-kelompok hewan terdapatlah kelompok tertutup dan terbuka.
f.       Theori medan membagi kelompok-kelompok itu atas struktur medannya.
g.      Kelompok dengan struktur medan yang kuat dimana setiap individu anggota kelompok merasa mempunyai medan sosial yang kuat dan permanent.
h.      Kelompok permiabel pada kelompok-kelompok tertier menurut Cooley.[5]
Kelompok sosial dapat diklasifikasian menjadi beberapa bentuk, yaitu:
a.       Kelompok primer dan Kelompok sekunder
b.      Kelompok kekerabatan
c.       Gemeinschaft dan gessellshaft
1)      Gemeinschaft by blood
2)      Gemeinschaft of place
3)      Gemeinschaft of mind
d.      Kelompok formal dan kelompok nonformal
e.       Membership group dan reference group.[6]

D.    Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok
1.      Prasangka dalam Hubungan Antar Kelompok
Bermacam-macam teori yang telah dikemukakan bahwa prasangka adalah sebagai sesuatu yang wajar yang sendirinya timbul bila terjadi hubungan antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam kalangannya sendiri dan merasa solider dengan kelompok itu.
a)      Prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari.
Teori ini memandang prasangka sebagai hasil proses belajar seperti halnya dengan sikap-sikap lain yang terdapat pada manusia. Sikap senang atau tidak senang terhadap golongan lain adalah hasil pengalaman pribadi yang  berlangsung lama atau berdasarkan pengalaman yang traumatis.
b)      Prasangka sebagai alat mencapai tujuan praktis.
Golongan yang dominan ingin menyingkirkan golongan minoritas dari dunia persaingan. Sikap itu terdapat dikalangan penjajah terhadap bangsa yang dijajah agar dapat dieksploitasinya. Untuk membenarkan diri mereka mencari alasan penindasan itu dengan jalan rasionalisasi.


c)      Prasangka sebagai aspek pribadi.
Menurut penelitian Murphy dan Likert ada dua orang yang mempunyai pribadi yang berprasangka. Orang yang pribadinya berprasangka menaruh prasangka terhadap berbagai hal. Maka kepribadian merupakan suatu faktor penting bila kita ingin memahami hakikat dan perkembangan prasangka.
d)     Pendekatan multi dimensional
Dalam berbagai faktor yang dapat menimbulkan prasangka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memahami prasangka harus kita gunakan pendekatan yang multi dimensional. Prasangka dalam hubungan antar- kelompok perlu kita ketahui bahwa prasangka bukanlah suatu instink yang dibawa lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu dipelajari, maka prasangka itu dapat diubah atau dikurangi bahkan dapat dicegah timbulnya.[7]
2.      Pendidikan Umum dan Hubungan Antar Kelompok
Menurut penelitian, makin tinggi pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya terhadap golongan lain, makin toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Mereka yang berpendidikan universitas ternyata menunjukkan sikap yang paling toleran. Namun ada tidaknya prasangka tidak semata-mata ditentukan oleh pendidikan saja. Pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi, tetapi dapat pula memperkuat prasangka.
3.      Struktur Hubungan Antar Kelompok di Sekolah
Sekolah biasanya terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis, salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah memupuk hubungan sosial dikalangan murid-murid. Program pendidikan antar-murid, antar golongan ini bergantung pada struktur sosial murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas dikalangan mereka mempengaruhi hubungan antar kelompok itu.
Murid-murid di sekolah kita juga sering menunjukkan perbedaan tentang asal kebangsaan, kesukuan, agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itu, mungkin timbul golongan minoritas di kalangan murid-murid yang tersembunyi ataupun yang nyata.
Guru-guru hendaknya memperhatikan struktur golongan-golongan dikalangan murid-muridnya. Apakah anak-anak yang berasal dari daerah tertentu, yang berasal dari keturunan asing atau yang berlainan agama diperlakukan dengan cara yang tak wajar oleh teman-temannya atau disingkirkan dari kegiatan tertentu. Dengan perlakuan yang demikian anak-anak yang didiskriminasikan akan merasa dirinya asing dan tak diterima sebagai anggota penuh dari masyarakat sekolahnya.
4.      Usaha-usaha Memperbaiki Hubungan Antar Kelompok di Sekolah
Tiap sekolah perlu memperhatikan hubungan antar-murid dan antar-kelompok, terlebih jika terdapat golongan minoritas. Berbagai usaha dapat dijalankan untuk memperbaiki hubungan antar-kelompok, walaupun kekuasaan sekolah sangat terbatas. Oleh sebab sekolah terbatas kemampuannya untuk mengubah situasi sosial sekolah, dapat menggugah nilai-nilai dan sikap anak-anak secara individual, rasa keadilan, rasa keagamaan yang mengemukakan kesamaan manusia di hadapan Tuhan. Cara ini dapat dilakukan melalui pemberian informasi diskusi kelompok, hubungan pribadi dan sebagainya.
Kebanyakan usaha dalam perbaikan hubungan antar-kelompok mengandung unsur penggugahan nilai dan sikap, oleh sebab itu sekolah tidak mampu mengubah keadaan sosial dan prasangka dalam masyarakat. Di tengah pendidikan yang dikonsep saebagai arena perjuangan antar kelas/strata sosial maka pendidikan harus bisa diubah menjadi kekuatan yang bisa membebaskan diri dari operasi kelas dominan. Perjuangan ini dimulai dengan pemberian penyadaran terhadap siswa dan seluruh praktisi pendidikan. Mereka harus memiliki self-awareness dan kesadaran kelas. Intervensi ke sekolah harus dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk mengubah karakter sekolah/pendidikan.
5.      Efektifitas Pendidikan Antar Kelompok
Usaha-usaha perbaikan hubungan antar keolmpok didasarkan atas anggapan atau asumsi tertentu:
a)      Prasangka disebabkan oleh kurangnya pengetahuan.
b)      Pengalaman di sekolah dapat mengubah kelakuannya di luar sekolah dan situasi-situasi lain.
c)      Hubungan pribadi dengan anggota kelompok lain akan mengurangi prasangka.
Sekolah merupakan lembaga yang efektif untuk mengurangi prasangka tidak dapat didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Efektifitas program khusus tentang hubungan antar-kelompok tidak mudah dinilai. Kebanyakan program itu corak pemberian informasi yang kemudian diuji dengan tes tertulis.
Perlu kita sadari bahwa sekolah hanya salah satu dari sejumlah daya-daya sosial yang mempengaruhi hubungan antar-golongan. Sekolah tak mampu mengubah masyarakat. Untuk menghilangkan prasangka terhadap golongan lain, seluruh masyarakat harus turut serta termasuk pemerintah dan guru-guru harus menjadi model pribadi yang toleran dalam ucapan maupun perbuatannya.
6.      Dasar-dasar bagi Pendidikan Antar Golongan
Program-program tentang hubungan antar-golongan dapat dilakukan menurut pola pelajaran yakni dengan menyampaikan informasi seperti pelajaran sejarah, geografi, dan lain lain. Prasangka dapat pula menjadi aspek kebudayaan yang diperoleh melalui proses sosialisasi, melalui situasi yang dihadapi anak dalam hidupnya. Sekolah dapat memberikan pelajaran agar anak tidak berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke dalam situasi-situasi lain di luar sekolah menjadi pertanyaan, karena kelakuannya akan bertentangan dengan yang lazim dilihatnya dalam masyarakat.[8]

E.     Studi Kasus
Masyarakat atau kelompok akan memposisikan individu tersebut sesuai tingkatan pendidikannya. Misalnya untuk masyarakat pedesaan, lulusan SMA biasa merupakan jenjang teratas di kalangan mereka karena kebanyakan mereka tidak sekolah. Orang tersebut biasanya dijadikan sebagai penasihat untuk urusan-urusan tertentu. Hal yang berbeda jika tamatan SMA tersebut dalam komunitas orang kota yang kebanyakan mereka telah mengenyam pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Status tamatan SMA terasa sangat rendah.
Meskipun tidak dapat dipungkiri, jenjang pendidikan belum dapat mewakili kearifan dan keilmuan seseorang. Tetapi paling tidak, jenjang pendidikan dapat menjadi ciri individu yang satu dengan yang lain untuk kemudian menempatkan status mereka dalam suatu kelompok atau masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Danim, Sudarwan. 2010. Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfa Beta
Darajat, Zakiah. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Idi, Abdullah. 2001. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Khobir, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Press
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara




[1] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.
[2] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press, 2009), hlm. 
[3] Sudarwan Danim, Pengantar Kependidikan, (Bandung: Alfa Beta, 2010), hlm.
[4] Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.
[5]Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 
[6] Abdullah Idi, op.cit., hlm
[7] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 
[8] Ibid., hlm.