Pendidikan dan Hubungan Antar Kelompok
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu :
Dian Rif’iyati, M.S.I
Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Elly Anisah 2021111035
2. Dewi Nurlita Kurniawati 2021111036
3. Annisa Amalia Zikrina 2021111050
4. Fatkhul Ribkhah 2021111059
Kelas H
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013
BAB II
PEMABAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dapat diartikan secara sederhana sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie
berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang
dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan diartikan sebagai usaha yang
dijalankan orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai hidup atau penghidupan
yang lebih tinggi dalam arti mental.
Pada pendidikan yang
sesungguhnya anak dituntut mengerti
bahwa ia harus memahami apa yang dikehendaki oleh pemegang kewibawaan dan
menyadari bahwa hal yang diajarkan adalah perlu baginya. Dapat dikatakan bahwa ciri
utamanya adalah adanya kesiapan interaksi edukatif dari pendidik dan peserta
didik.[1]
Beberapa pendapat para ahli tentang pendidikan yaitu:
Menurut Langeveld, pendidikan adalah
setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan anak kepada
anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepatnya membantu anak
agar cukup melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Menurut John Dewey, pendidikan adalah
proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan
emosional kearah alam dan sesama manusia.
Menurut Ki Hajar
Dewantara, Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan
penghidupan anak yang kita didik sesuai dengan dunianya dan dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[2]
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keterampilan,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[3]
Dari beberapa defenisi pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar yang terencana dan tersistematis dalam
memanusiakan manusia.
B. Pengertian Kelompok
Secara sosiologis, istilah kelompok mempunyai pengertian sebagai suatu
kumpulan dari orang-orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, dimana
dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama. Beberapa definisi kelompok:
Menurut Joseph S. Roucek., suatu kelompok meliputi dua atau lebih manusia
yang diantara mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat dipahami oleh
para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.
Menururt Mayor Polak, kelompok sosial
adalah satu group, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain
dan hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.
Menurut Wila Huky, kelompok merupakan
suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi
atau saling berkomunikasi.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok menurut
tinjauan sosiologi adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang saling
berinteraksi dan terjadi hubungan timbal balik dimana ia merasa menjadi bagian
dari kelompok tersebut.[4]
C.
Kelompok-Kelompok Sosial dalam Masyarakat
Kelompok sosial dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk. Hal ini
sangat bergantung dari sudut pandang ahli yang bersangkutan. Ada yang memandang
dari proses terbentuknya, kekuatan ikatan emosional dan ada yang
membaginya berdasarkan banyaknya jumlah anggota kelompok.
1. William
G.Summer mengemukakan adanya in group atau we group dan out
group atau others group atau every body else. Di dalam in group ada
asosialisasi ke arah mana tiap-tiap individu anggota kelompok kesetiaan dan
solidaritas serta terdapat usaha identifikasi pribadi satu sama lain ke arah
adanya rasa persahabatan, kerjasama, rasa tanggung jawab, terutama disaat
mendesak dan gawat.
2. Cooley
mempergunakan dasar “we and the group” dari Summer yang mengemukakan
adanya jenis-jenis kelompok sosial-sosial primair, sekundair dan tertier atas
dasar intimitas perasaan individu-individu terhadap individu-individu atau
kelompok lainnya.
3. John L.
Gillin membagi kelompok atas dasar fungsional, yaitu:
a. Kelompok
persamaan darah
b. Kelompok
berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental
c. Kelompok
proximitas
d. Kelompok
berdasarkan interest kulturil
e.
Alvedes yang menyelidiki pada
kelompok-kelompok hewan terdapatlah kelompok tertutup dan terbuka.
f.
Theori medan membagi
kelompok-kelompok itu atas struktur medannya.
g.
Kelompok dengan struktur medan yang
kuat dimana setiap individu anggota kelompok merasa mempunyai medan sosial yang
kuat dan permanent.
h.
Kelompok permiabel pada
kelompok-kelompok tertier menurut Cooley.[5]
Kelompok
sosial dapat diklasifikasian menjadi beberapa bentuk, yaitu:
a.
Kelompok primer dan Kelompok
sekunder
b.
Kelompok kekerabatan
c.
Gemeinschaft dan gessellshaft
1) Gemeinschaft by blood
2) Gemeinschaft of place
3) Gemeinschaft of mind
d.
Kelompok formal dan kelompok
nonformal
D.
Pendidikan
dan Hubungan Antar Kelompok
1.
Prasangka
dalam Hubungan Antar Kelompok
Bermacam-macam teori yang telah
dikemukakan bahwa prasangka adalah sebagai sesuatu yang wajar yang sendirinya
timbul bila terjadi hubungan antara dua kelompok yang berlainan. Manusia sadar akan kesamaan dalam kalangannya sendiri dan merasa solider
dengan kelompok itu.
a)
Prasangka sebagai sesuatu yang
dipelajari.
Teori ini memandang prasangka
sebagai hasil proses belajar seperti halnya dengan sikap-sikap lain yang
terdapat pada manusia. Sikap senang atau tidak senang terhadap golongan lain
adalah hasil pengalaman pribadi yang berlangsung lama atau berdasarkan
pengalaman yang traumatis.
b)
Prasangka sebagai alat mencapai tujuan praktis.
Golongan yang dominan ingin
menyingkirkan golongan minoritas dari dunia persaingan. Sikap itu terdapat
dikalangan penjajah terhadap bangsa yang dijajah agar dapat dieksploitasinya.
Untuk membenarkan diri mereka mencari alasan penindasan itu dengan jalan
rasionalisasi.
c)
Prasangka sebagai aspek pribadi.
Menurut penelitian Murphy dan Likert
ada dua orang yang mempunyai pribadi yang berprasangka. Orang yang pribadinya
berprasangka menaruh prasangka terhadap berbagai hal. Maka kepribadian
merupakan suatu faktor penting bila kita ingin memahami hakikat dan
perkembangan prasangka.
d)
Pendekatan multi dimensional
Dalam berbagai faktor yang dapat
menimbulkan prasangka dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memahami prasangka
harus kita gunakan pendekatan yang multi dimensional. Prasangka dalam hubungan
antar- kelompok perlu kita ketahui bahwa prasangka bukanlah suatu instink yang
dibawa lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari. Karena prasangka itu
dipelajari, maka prasangka itu dapat diubah atau dikurangi bahkan dapat dicegah
timbulnya.[7]
2.
Pendidikan Umum dan Hubungan Antar Kelompok
Menurut penelitian, makin tinggi
pendidikan seseorang makin kurang prasangkanya terhadap golongan lain, makin
toleran sikapnya terhadap golongan minoritas. Mereka yang berpendidikan
universitas ternyata menunjukkan sikap yang paling toleran. Namun ada tidaknya
prasangka tidak semata-mata ditentukan oleh pendidikan saja. Pendidikan
dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa
ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Ada kemungkinan mengurangi,
tetapi dapat pula memperkuat prasangka.
3.
Struktur Hubungan Antar Kelompok di Sekolah
Sekolah biasanya terlampau memusatkan perhatian kepada pendidikan akademis,
salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah memupuk hubungan sosial
dikalangan murid-murid. Program pendidikan antar-murid, antar golongan ini
bergantung pada struktur sosial murid-murid. Ada tidaknya golongan minoritas
dikalangan mereka mempengaruhi hubungan antar kelompok itu.
Murid-murid di sekolah kita juga sering menunjukkan perbedaan tentang asal
kebangsaan, kesukuan, agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial. Berdasarkan
perbedaan-perbedaan itu, mungkin timbul golongan minoritas di kalangan
murid-murid yang tersembunyi ataupun yang nyata.
Guru-guru hendaknya memperhatikan struktur golongan-golongan dikalangan
murid-muridnya. Apakah anak-anak yang berasal dari daerah tertentu, yang
berasal dari keturunan asing atau yang berlainan agama diperlakukan dengan cara
yang tak wajar oleh teman-temannya atau disingkirkan dari kegiatan tertentu.
Dengan perlakuan yang demikian anak-anak yang didiskriminasikan akan merasa
dirinya asing dan tak diterima sebagai anggota penuh dari masyarakat
sekolahnya.
4.
Usaha-usaha Memperbaiki Hubungan Antar Kelompok di Sekolah
Tiap sekolah perlu memperhatikan hubungan antar-murid dan antar-kelompok,
terlebih jika terdapat golongan minoritas. Berbagai usaha dapat dijalankan
untuk memperbaiki hubungan antar-kelompok, walaupun kekuasaan sekolah sangat
terbatas. Oleh sebab sekolah terbatas kemampuannya untuk mengubah situasi
sosial sekolah, dapat menggugah nilai-nilai dan sikap anak-anak secara
individual, rasa keadilan, rasa keagamaan yang mengemukakan kesamaan manusia di
hadapan Tuhan. Cara ini dapat dilakukan melalui pemberian informasi diskusi
kelompok, hubungan pribadi dan sebagainya.
Kebanyakan usaha dalam perbaikan hubungan antar-kelompok mengandung unsur
penggugahan nilai dan sikap, oleh sebab itu sekolah tidak mampu mengubah
keadaan sosial dan prasangka dalam masyarakat. Di tengah pendidikan yang
dikonsep saebagai arena perjuangan antar kelas/strata sosial maka pendidikan
harus bisa diubah menjadi kekuatan yang bisa membebaskan diri dari operasi
kelas dominan. Perjuangan ini dimulai dengan pemberian penyadaran terhadap
siswa dan seluruh praktisi pendidikan. Mereka harus memiliki self-awareness
dan kesadaran kelas. Intervensi ke sekolah harus dilakukan, hal ini dimaksudkan
untuk mengubah karakter sekolah/pendidikan.
5.
Efektifitas
Pendidikan Antar Kelompok
Usaha-usaha perbaikan hubungan antar
keolmpok didasarkan atas anggapan atau asumsi
tertentu:
a)
Prasangka disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan.
b)
Pengalaman di sekolah dapat mengubah
kelakuannya di luar sekolah dan situasi-situasi lain.
c)
Hubungan pribadi dengan anggota
kelompok lain akan mengurangi prasangka.
Sekolah merupakan lembaga yang efektif untuk mengurangi prasangka tidak
dapat didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Efektifitas program khusus
tentang hubungan antar-kelompok tidak mudah dinilai. Kebanyakan program itu
corak pemberian informasi yang kemudian diuji dengan tes tertulis.
Perlu kita sadari bahwa sekolah hanya salah satu dari sejumlah daya-daya
sosial yang mempengaruhi hubungan antar-golongan. Sekolah tak mampu mengubah
masyarakat. Untuk menghilangkan prasangka terhadap golongan lain, seluruh
masyarakat harus turut serta termasuk pemerintah dan guru-guru harus menjadi
model pribadi yang toleran dalam ucapan maupun perbuatannya.
6.
Dasar-dasar
bagi Pendidikan Antar Golongan
Program-program tentang hubungan
antar-golongan dapat dilakukan menurut pola pelajaran yakni dengan menyampaikan
informasi seperti pelajaran sejarah, geografi, dan lain lain. Prasangka dapat
pula menjadi aspek kebudayaan yang diperoleh melalui proses sosialisasi, melalui
situasi yang dihadapi anak dalam hidupnya. Sekolah dapat memberikan pelajaran
agar anak tidak berprasangka, namun apakah akan terjadi transfer ke dalam
situasi-situasi lain di luar sekolah menjadi pertanyaan, karena kelakuannya
akan bertentangan dengan yang lazim dilihatnya dalam masyarakat.[8]
E.
Studi Kasus
Masyarakat atau kelompok akan memposisikan individu tersebut sesuai
tingkatan pendidikannya. Misalnya untuk masyarakat pedesaan, lulusan SMA biasa
merupakan jenjang teratas di kalangan mereka karena kebanyakan mereka tidak
sekolah. Orang tersebut biasanya dijadikan sebagai penasihat untuk
urusan-urusan tertentu. Hal yang berbeda jika tamatan SMA tersebut dalam
komunitas orang kota yang kebanyakan mereka telah mengenyam pendidikan hingga
jenjang perguruan tinggi. Status tamatan SMA terasa sangat rendah.
Meskipun tidak dapat dipungkiri, jenjang pendidikan belum dapat mewakili
kearifan dan keilmuan seseorang. Tetapi paling tidak, jenjang pendidikan dapat
menjadi ciri individu yang satu dengan yang lain untuk kemudian menempatkan
status mereka dalam suatu kelompok atau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1991. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta
Danim, Sudarwan. 2010. Pengantar Kependidikan. Bandung: Alfa Beta
Darajat, Zakiah. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara
Idi, Abdullah. 2001. Sosiologi
Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta:
Raja Grafindo
Persada
Khobir, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN
Press
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara