ESENSIALISME
DIKAJI DARI
ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen Pengampu : Moch. Iskarim, M.S.I
Disusun Oleh :
1.
Muhammad Handoyo 2021111057
2.
Nailatus Syarifah 2021111058
3.
Fatkhul Ribkhah 2021111059
4.
Kholisatul Izzah 2021111060
Kelas H
PRODI PAI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan, yaitu memikirkan secara
mendalam atau mencari hakikat-hakikat dalam suatu persoalan-persoalan kehidupan, sehingga akan
memunculkan suatu ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan kembali kepada agama
(Aqdatul Qubra).
Dengan berfilsafat maka akan menghasilkan ilmu-ilmu, salah satunya adalah
ilmu pendidikan yang kemudian disebut filsafat pendidikan. Dalam pembahasannya
terdapat beberapa aliran-alairan dalam filsafat pendidikan yang menjadi dasar
dalam pemikiran dan pelaksanaan pendidikan. Aliran tersebut adalah aliran
progesivisme, aliran esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran
rekonstruksionisme.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu dari beberapa aliran tersebut,
yaitu tentang aliran esensialisme yang percaya bahwa pendidikan harus
didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada. Dengan mempelajari
aliran esensislisme maka kita menegtahui sebagian aliran dalam filsafat
pendidikan yang dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam pemikiran dan
pelaksanaan pendidikan.
B. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dari pembahasan
aliran esensialisme ini adalah:
1.
Pengertian
aliran esensialisme
2.
Latar
belakang munculnya aliran esensialisme
3.
Aliran
esensialisme ditinjau dari ontologi
4.
Aliran
esensialisme ditinjau dari epistimologi
5.
Aliran
esensialisme ditinjau dari aksiologi
6.
Aliran
esensialisme dalam pendidikan
7.
Kritik
terhadap aliran esensialisme
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
Maksud dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui bagaimana aliran
esensialisme
dalam filsafat pendidikan yang ditinjau dari kajian ontologi,
epistimologi, dan aksiologi.
Adapun tujuannya adalah:
1.
Mengetahui
pengertian aliran esensialisme
2.
Mengetahui
latar belakang munculnya aliran esensialisme
3.
Mengetahui
aliran esensialisme yang ditinjau
dari kajian ontologi
4.
Mengetahui
aliran esensialisme yang ditinjau
dari kajian epistemologi
5.
Mengetahui
aliran esensialisme yang ditinjau
dari kajian aksiologi
6.
Mengetahui
aliran esensialisme dalam dunia
pendidikan
7.
Mengetahui
kritik dari aliran esensialisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aliran Esensialisme
Esensialisme berasal dari kata latin essential
yang berarti “hal yang pokok/hakiki”. Aliran esensialisme menekankan pentingnya
penyampaian hal-hal yang esensial (hakiki) dalam pendidikan. Aliran ini
merupakan reaksi terhadap progresivisme yang terlalu menekankan metode belajar
melalui pemecahan masalah dan aktivitas sendiri para siswa untuk mengikuti
minat dan kebutuhan mereka.[1]
Dalam hubungannya dengan pendidikan, esensialisme menekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai
kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif,
bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahun ini
dilaksanakan dengan memberikan ketrampilan, sikap, dan nilai yang merupakan
bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.
Guru dalam proses pendidikan dipandang
sebagai center for excellence, karena dituntut untuk menguasai bidang
studi dan sebagai model atau figur yang diteladani oleh peserta didik. Guru
harus menguasai materi pengetahuannya, sebab mereka dianggap memegang posisi
tertinggi dalam pendidikan. Melalui sekolah, guru berperan untuk
mentransmisikan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang
diperlukan oleh peserta didik dalam masyarakat.[2]
Tokoh-tokoh dari aliran esensialisme antara
lain:
1.
Desiderius Erasmus, hidup pada akhir abad 15 dan permulaan
abad 16. Ia merupakan tokoh pertama yang
menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha
agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan internasional, sehingga bisa
mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2.
Johan Amos Comenius, ia adalah seorang yamg memiliki pandangan
realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai
peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan. Karena pada hakikatnya
dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3.
John Locke, ia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya
selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4.
Johan Henrich Pestalozzi, ia mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat
alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat
kemampuan-kemampuan wajarnya, selain itu manusia juga mempunyai hubungan
transcendental langsung dengan Tuhan.
5.
Johan Friederich Frobel, ia memandang bahwa anak sebagai makhluk
yang berekspresi kreatif, karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak
kearah kesadaran diri yang murni selaras dengan fitrah kejadiannya.
6.
Johan Friederich Herbert, ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan
adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan.
7.
William T Harris, ia berpendapat bahwa tugas pendidikan ialah
mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti yang berdasarkan
kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi panutan penyesuaian diri
kepada masyarakat.[3]
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Esensialisme
Esensialisme muncul pada zaman
Renaisans. Bagi esensialisme pendidikan hendaknya berpijak pada nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan
dan arah yang jelas. Aliran esensialisme didasarkan atas pandangan humanisme
yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian serba ilmiah dan
meterialistik, selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari penganut
aliran idealisme dan realisme.[4]
Esensialisme pada mulanya muncul sebagai reaksi terhadap simbolisme
mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Maka para esensialis menyusun konsep
secara sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta yang dapat
memenuhi tuntutan zaman modern.[5]
Paham ini popular pada tahun 1930an dengan pelopornya William Bagley
(1874-1946). Pada awal abad ke-20, paham ini dikritik sebagai paham kaku untuk
mempersiapkan siswa memasuki dunia dewasa. Namun dengan suksesnya Uni Soviet
dalam meluncurkan Sputnik pada tahun 1957, minat pada paham ini kembali hidup.
Pada tahun 1983 The President’s Commission on Exelence in Education di
AS menerbitkan laporan, A Nation at Risk, yang memperlihatkan kepedulian
penganut paham esensialis.[6]
C. Aliran Esensialisme dipandang dari Ontologi
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa
dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada
cela pula. Dengan kata lain, bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita
manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.
Tujuan umum aliran esensialisme
adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya
mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur
dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola
idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif. Realisme
objektif mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam dan tempat manusia
di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat
dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek
dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan tata yang khusus. Dengan demikian,
suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkanmenurut hukum alam,
salah satunya adalah daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain
dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar
sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis
ketimbang realisme objektif. Pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh,
meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam
semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, maka idealisme objektif
menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata. [7]
Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul
dalam pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos menunjuk
pada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis.
Mikrokosmos menunjuk pada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai
individu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta. Pengertian
mengenai makrokosmos dan mikrokosmos merupakan dasar pengertian mengenai
hubungan antara Tuhan dan manusia. [8]
D. Aliran Esensialisme dipandang dari Epistemologi
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk
mengerti epistimologi esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari bahwa
realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui
dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan
kualitas inilah manusia memproduksi pengetahuannya secara tepat dalam
benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan agama. Generalisasi di atas secara
keseluruhan adalah pola pelaksanaan asas pandangan idealisme dan realisme.[9]
E. Aliran Esensialisme dipandang dari Aksiologi
Pandangan ontologi dan epistimologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi.
Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dan tergantung pada pandangan-pandangan
idealisme dan realisme. Dengan kata lain, esensialisme terbina oleh kedua
syarat tersebut.
1.
Teori nilai menurut idealisme
Penganut idealisme
berpendapat bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang
dikatakan baik jika interaktif dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut
idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan
dengan kualitas baik dan buruk.
2.
Teori nilai menurut realisme
Prinsip sederhana realisme
tentang etika ialah melalui asas ontologi, bahwa sumber semua pengetahuan
manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup. Dalam masalah baik-buruk
khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan pada
keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang
timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis
dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan.[10]
F. Aliran Esensialisme dalam Pendidikan
Terdapat beberapa prinsip asasiah yang menjadi asumsi dalam aliran
esensialisme, yaitu:
1.
Kegiatan belajar pada dasarnya menuntuk kerja
keras dan latihan yang kadang membosankan. Kalau progresivisme sangat
menekankan kebebasan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajarnya,
namun esensialisme sangat menekankan perlunya kedisiplinan dalam belajar.
Peserta didik diajak untuk mengejar cita-citanya, suatu “mimpi” yang hanya
menjadi minat dan kebutuhannya sesaat.
Di antara berbagai spesies makhluk hidup,
hanya manusia saja yang dapat menguasai keinginan-keinginan spontannya. Kalau
hal ini tidak pernah dilatih dan dibiasakan pada diri anak didik, maka pendidik
tidak membantu mereka untuk mempergunakan secara maksimal “sesuatu” yang
“mungkin” menjadi bakat dan potensinya. Kalau seorang pendidik hanya menuruti
egoisitasnya, akan berimplikasi pada “terbunuh”nya pertumbuhan serta penyemaian
sikap disiplin diri peserta didik.
2.
Inisiatif pokok dalam pendidikan tidak
terletak pada murid tetapi pada guru. Peserta didik sebagai orang yang belum
dewasa memerlukan bimbingan dan kontrol orang yang lebih dewasa untuk mencapai
pemenuhan dirinya sebagai manusia. Peranan guru sebagai pendidik adalah menjadi
penghubung antara dunia anak dengan dunia orang dewasa karena anak tidak
mungkin memahami dunia orang dewasa.
Menurut para esensialis, guru harus
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didiknya. Ia harus secara
intelektual dan emosional memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka yang
sesungguhnya. Mengutip ucapan Brickman: “Esensialisme menempatkan guru pada
pusat dunia pendidikan. Oleh karena itu, guru harus memiliki pengetahuan
akademik, pengetahuan tentang psikologi anak dan memantau perkembangan peserta
didik dalam proses belajarnya; memiliki kemampuan untuk menyampaikan fakta dan
cita-cita kepada generasi muda, suatu penghargaan terhadap dasar-dasar historis
dan filosofis pendidikan; dan pengabdian yang sungguh-sungguh pada
pekerjaannya.
3.
Inti proses pendidikan adalah dikuasainya
bahan yang sebelumnya sudah ditetapkan. Menurut kaum esensialis, inti dari
proses pendidikan adalah penguasaan bahan pelajaran yang sebelumnya sudah
ditetapkan oleh guru. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum realis bahwa
lingkungan fisik dan sosial faktor yang menentukan bagaimana ia harus hidup.
Kaum esensialis menyetujui pandangan kaum
progresifis bahwa pendidikan harus mampu menciptakan peserta didik memiliki
kemampuan untuk mewujudkan bakat-bakat dan kemampuannya. Namun, kaum esensialis
menyatakan bahwa perwujudan itu mesti terlaksana dalam dunia yang tidak
tergantung pada individu dan sebaliknya dunia yang mempunyai peraturan di mana
individu tersebut harus tunduk.
Dalam hal ini, tujuan dari pendidikan adalah
untuk membantu peserta didik untuk mengenali dunia tersebut seperti adanya dan
tidak hanya menafsirkan sesuai dengan minat dan kepentingan mereka. Bahan
pelajaran mesti disampaikan kepada mereka sesuai dengan urutan dan tatanan
logisnya.
4.
Sekolah mesti mempertahankan metode
tradisional yang menekankan disiplin mental. Kaum esensialis tidak menyangkal
adanya hubungan dari metode pemecahan masalah sebagai metode belajar. Akan
tetapi metode ini tidak boleh menjadi cara satu-satunya dalam seluruh proses belajar
mengajar. Banyak pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat diurai secara
memuaskan ke permasalahan-permasalahan yang dianggap praktis. Walaupun belajar
sambil melakukan (learning by doing) mungkin cocok dalam situasi
tertentu dan untuk anak didik tertentu, akan tetapi konsep seperti itu tidak
berlaku secara universal dan general.[11]
G. Kritik terhadap Aliran Esensialisme
Ada beberapa kritik yang dilontarkan terhadap
aliran esensialisme, diantaranya:
1. Aliran esensialisme terlalu statis, aliran ini terlalu menekankan
pentingnya ilmu-ilmu eksak (fisika, biologi, kimia) dan kurang begitu menghargai
ilmu-ilmu sosial. Padahal untuk memahami persoalan yang muncul di tengah
masyarakat sekarang, manusia perlu memperoleh pengertian teoritis tentang
kebudayaan dan masyarakatnya.
2. Aliran esensialisme kurang merangsang inisiatif intelektual anak didik.
Dalam sistem pendidikan esensialisme, anak didik tidak berfikir sendiri sejak
awal masa belajar mereka, melainkan hanya dilatih untuk menerapkan yang sudah
ditentukan dan diatur oleh gurunya, sehingga membuat anak didik menjadi pasif.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Aliran esensialisme merupakan aliran yang menekankan
pentingnya penyampaian hal-hal yang esensial atau hakiki dalam pendidikan. esensialisme menekankan pada tujuan pewarisan nilai-nilai
kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif,
bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahun ini
dilaksanakan dengan memberikan ketrampilan, sikap, dan nilai yang merupakan
bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.
Dalam pandangan ontologi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan
segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi
esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai
ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Dalam pandangan epistemologi, realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos,
maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu
memikirkan kesemestiannya. Berdasarkan kualitas inilah manusia memproduksi
pengetahuannya secara tepat dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan
agama.
Dalam pandangan aksiologi, aliran ini
memandang bahwa nilai-nilai berasal dan tergantung pada pandangan-pandangan
idealisme dan realisme. Menurut penganut idealisme, bahwa hukum-hukum etika
adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika interaktif dan
melaksanakan hukum-hukum itu. Sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan
mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Menurut realisme tentang
etika ialah melalui asas ontologi, bahwa sumber semua pengetahuan manusia
terletak pada keteraturan lingkungan hidup. Realisme bersandarkan pada
keturunan dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Assegaf, Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Khobir, Abdul. 2007.
Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press
Thoib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Genta Press
[1]Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan Meretas
Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm.
[6] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, cet.2), hlm.
[7] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012, cet.4), hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar